Edisi : Kamis, 27 November 2008 , Hal.XII
Solo (Espos) Setiap bahasa tentu memiliki keunikan dan kekhasan yang dibanggakan oleh setiap bangsa yang menjadi pemilik dan penggunanya.
Misalnya orang Inggris bangga dengan bahasanya yang memiliki 16 pola tenses atau kala yang cukup rumit. Sampai-sampai ada bentuk kala dengan pola past future perfect continous yang jika diartikan ”telah akan sedang berlangsung”. Bagi kita yang sudah sangat terbiasa dengan pola kala bahasa Indonesia yang relatif sederhana tentunya sangat aneh memahami bahwa ada kombinasi suatu pekerjaan yang ”telah terjadi” dan juga ”sedang berlangsung” di masa yang akan datang.
Nah, jika orang Inggris dan orang India-Pakistan punya kebanggaan yang khas dengan bahasa mereka bagaimana dengan orang Jawa? Apakah orang Jawa terutama generasi mudanya benar-benar bangga punya bahasa Jawa? Jika saja bahasa Jawa sudah dianggap kuno dan usang tentunya situs mesin pencari terbesar sedunia Google.com tentunya tak mau menyediakan menu Google Boso Jowo sebagai salah satu peranti bahasa pilihan. Lalu jika memang benar demikian kemudian aspek apa dari bahasa Jawa yang bisa dibanggakan?
Menurut Profesor EM Uhlenbeck, pakar bahasa Jawa dari Belanda bahasa Jawa dipenuhi oleh leksikon emotif ekspresif. Contohnya leksikon kemresek, kemrosak, kemrusuk, dan kemrisik yang semuanya menyatakan bunyi berkerisik benda-benda seperti daun-daun, air terjun dan lain sebagainya dengan tingkat kekerasan dan kejelasan yang berbeda. Contoh lain adalah leksikon krik-krik yang mengacu pada suara hewan jangkrik dan leksikon cek-cek mengacu pada suara hewan cecak. Secara semantik contoh-contoh di atas mengacu pada kekhasan masyarakat agraris tradisional yang dekat dengan alam secara morfologis (Uhlenbeck: 163).
Leksikon emotif ekspresif disebut juga leksikon periferal atau ”pinggiran” atau leksikon yang bersifat non-arbitrer. Kenapa disebut non-arbitrer? Karena ada kesamaan spesifik antara aspek formal dan aspek semantik. Misalnya kata pethingil atau methingil mengacu pada munculnya ”benda” kecil seperti tikus atau jangkrik. Kata Prof D Edi Subroto, guru saya di pascasarjana UNS, secara fonestemik bunyi ”i” ada nuansa benda-benda yang kecil, ringan, lembut dan halus. Apabila ada fonem vokal ”i” berubah menjadi ”u” kemudian menjadi ”o” menandakan entitas itu berangsur-angsur menjadi semakin besar, berat dan kasar. Contohnya adalah gradasi yang terjadi pada kata pethingil menjadi pethungil dan pethongol. Atau methingil menjadi methungul dan akhirnya menjadi methongol. Gradasi semacam ini bisa dijelaskan secara fonetik karena ruang resonansinya kecil atau sempit.
Contoh-contoh itu jelas menunjukkan bahwa bahasa Jawa sangat kaya akan nuansa rasa. Untuk lebih memahami kekayaan unsur emotif ekspresif dalam leksikon di atas cobalah menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa lain apapun yang Anda ketahui. Rasanya sangat sulit menemukan padanan terjemahan kata yang sama persis nuansa rasanya. - Oleh : awi/*
Korean Oval Face Hairstyles For Men That Will Make You Look Sharp
1 tahun yang lalu
3 komentar:
Wah basa jawa...tidak!!!!!!!!!!!!!!
Untung udah ngak ketemu basa jawa... he he he
Bu Atiek blogspot saya pindah jadi http://manusia-linux.blogspot.com/
pas mau posting baru di ganti ya? Klo ghak tahu sms saya...he he he
Wah...
Bhs Jawa...
Siapt Angkat tangan,...
Dah nyerah bux...
Posting Komentar